Senin, 23 Mei 2016

Fenomena Musik Populer dalam Industri Budaya Terry Sulistyaningrum A. Pendahuluan Musik pop ada dimana-mana. Ia telah kian menjadi bagian yang tidak terelakan dari kehidupan. Musik pop dapat ditemui di mal perbelanjaan, supermarket, di jalanan, di tempat kerja, di taman, di pub, di klub, di restoran dan kafe-kafe, di televisi, di bioskop, di radio. Selain itu, bisa menemukannya di toko-toko musik, dalam koleksi musik pribadi setiap orang, dalam gromofon, di berbagai konser dan festival. Pilihan-pilihan musikal merupakan member kontribusi pada pemahaman seseorang akan diri. Pilihan itu juga mendorong kesejahteraan ekonomi industri musik. Saat ini, nilai penting musik pop, yang tentu saja bersifat cultural dan ekonomi, telah membawanya menjadi fokus sentral dalam cultural studies. Dalam kehidupan modern sekarang ini musik semakin penting kehadirannya, dapat dikatakan kehidupan ini tidak bisa dilepaskan dari musik. Musik sebagai sebuah seni bisa disebut sebagai puncak kreasi, kreatifitas, pikiran, dan inspirasi manusia atas kondisi kemasyarakatan. Musik sebagai sebuah kebudayaan mengandung semangat peradaban yang dibangun saat musik ada. Musik yang awalnya dianggap profan saat ini direduksi ke dalam komoditas dan budaya popular. Yang menjadi pertanyaan berkaitan dengan musik dalam komoditas dan budaya popular dalam industri budaya sekarang ini, apakah musik masih dinilai oleh masyarakat umum, khususnya remaja dari segi kulaitas atau hanya sebagai musik yang mengikuti selera pasar dengan melupakan kualitas? B. Ekonomi Politik Musik Pop Budaya pop berasal dari analisis politik tokoh Marxis Italia, Antonio Gramsci, khususnya tentang pengembangan konsep hegemoninya. Gramsci menggunakan istilah ”hegemoni” untuk mengacu pada cara di mana kelompok dominan dalam suatu masyarakat mendapatkan dukungan dari kelompok subordinasi melalui proses ”kepemimpinan” intelektual dan moral (Gramsci, 1971: 75). Musik menghegemoni kehidupan masyarakat modern, mulai dari anak-anak, remaja sampai orang tua. Kelompok dominan intelektual dalam industri budaya telah mengkonsep sedemikian rupa sehingga musik yang disajikan enak di dengar sehingga banyak disukai masyarakat dari berbagai kalangan. Dengan dominasi yang terjadi membuat musik kehilangan aura dan sampai pada titik terendah. Musik muncul sebagai sebuah malapetaka itulah gagasan salah satu pemikir Mazhab Frankfurt, Theodor Ludwig Wiesengrund Adorno. Adorno dilahirkan di Frankfurt, Jerman pada 1903 dengan Latar belakang keluarga yang cukup dekat dengan musik dan gaya kosmopolitan. Adorno kecil sampai remaja hidup di sekitar lingkungan yang penuh musik. Musik membuatnya memiliki sense seni yang tinggi. Setelah memasuki universitas kemudian Adorno mendekati musik dengan sosiologis dan filsafat yang mendalam tentang musik karena kekecewaannya terhadap kondisi budaya pop yang semakin merambah luas dan hegemoni kapitalisme dalam musik. Menurut Simon Frith (1983), karya Theodor Adorno, anggota terkemuka Mazhab Frankfrut, merepresikan analisis paling sistematis dan paling membakar terhadap budaya massa serta paling menantang siapapun yang mengklaim bahkan sejumput nilai atas produk-produk industri musik yang diproduksi dalam jumlah besar (44). Pada 1941, Adorno mempublikasikan sebuah esai yang sangat berpengaruh ‘On Popular Music' (dalam Storey 1994). Dalam esai itu, ia membuat tiga pernyataan spesifik perihal musik pop. Pertama, ia menyatakan bahwa musik pop itu 'distandarisasikan', 'Standarisasi', sebagaimana ditunjukkan Adorno, 'meluas mulai dari segi-segi yang paling umum hingga segi-segi yang paling spesifik' (292-3). Sekali pola musikal dan/ atau lirikal ternyata sukses, ia dieksploitasi hingga kelelahan komersial, yang memuncak pada 'kristalisasi standar' (204). Selain itu, detail-detail dari satu lagu pop bisa saling dipertukarkan dengan detail-detail lagu pop lainnya. Tidak seperti struktur organis 'musik serius' (Beethoven, misalnya), di mana tiap-tiap detail mengekspresikan keseluruhan, musik pop bersifat mekanis dalam pengertian bahwa detail tertentu bisa diganti dari satu lagu ke lagu lainnya tanpa efek real apa pun pada struktur sebagai satu keseluruhan. Untuk menyembunyikan Standarisasi, industri musik menggunakan apa yang Adorno sebut 'pseudo-individualisasi': 'dengan kata lain, Standarisasi hit-hit lagu menjaga para penikmat musik tetap menerimanya dengan tetap mendengarkannya. Pseudo-individualisasi, baginya, menjaga mereka tetap menerimanya dengan membuat mereka lupa bahwa apa yang mereka dengarkan itu telah diperdengarkan dan "disederhanakan sebelumnya" kepada mereka' (206). Pernyataan kedua Adorno adalah bahwa musik pop mendorong pendengaran pasif. Bekerja di bawah naungan kapitalisme itu menjemukan dan karenanya mendorong pencarian jalan ke luar, namun, karena kapitalisme juga menumpulkan, ia meninggalkan sedikit energi bagi jalan ke luar yang sebenarnya tuntutan akan budaya yang 'autentik'; malahan, tempat bernaung dicari dalam bentuk-bentuk seperti musik pop. Konsumsi musik pop itu senantiasa pasif dan repetitif, yang menegaskan dunia sebagaimana adanya. Musik 'serius' dimainkan untuk kesenangan imajinasi, yang menawarkan keterlibatan dengan dunia sebagaimana seharusnya. Musik pop punya 'korelasi non-produktif dengan kehidupan di kantor atau di pabrik. Ketegangan dan kebosanan kerja mengantar laki-laki dan perempuan pada penghindaran terhadap penggunaan energi fisik dan mental di waktu luangnya. Menampik kesenangan baru di waktu kerja, dan terlalu lelah untuk menikmatinya di waktu luang, mereka sangat membutuhkan stimulan: musik pop memuaskan apa yang diidamkan. Stimulasinya diterima karena ketidakmampuan memberi karya yang terus-menerus identik. Ini berarti rasa bosan lagi. Itulah lingkaran yang membuat jalan ke luar menjadi mustahil. Kemustahilan jalan ke luar menyebabkan meluasnya sikap tidak peduli terhadap musik pop. Momen pengakuan adalah momen sensasi yang dilakukan dengan mudah. Perhatian segera yang diberikan pada momen ini membakar habis dirinya sendiri lebih segera dan memindahkan pendengar pada dunia pengalihan dan pemalingan perhatian. (211) Musik pop beroperasi di dalam semacam dialektika yang letih: untuk mengonsumsinya menuntut pengalihan dan pemalingan perhatian, sementara konsumsi terhadap musik pop menghasilkan pengalihan dan pemalingan perhatian dalam diri konsumen. Poin Adorno yang ketiga adalah klaim bahwa musik pop beroperasi seperti 'semen sosial' (211). 'Fungsi sosial-psikologis'-nya adalah meraih 'penyesuaian fisik dengan mekanisme kehidupan saat ini' (211-12) dalam diri konsumen musik pop. 'Penyesuaian' ini memanifestasikan dirinya sendiri dalam 'dua tipe sosial-psiko-logis utama perilaku massa ... tipe penurut yang "ritmis" dan tipe "emosional"' (212). Yang pertama menari-nari dalam pemalingan perhatian pada ritme eksploitasi dan opresinya sendiri. Yang kedua berkubang dalam kesengsaraan yang sentimentil, lupa akan kondisi eksistensi yang nyata. (Storey, 2010: 119) Lebih dari setiap seni pertunjukan lain, dunia lagu didominasi oleh lelaki berduit di satu sisi dan sensor moral terhadap media di sisi lain. Kemungkinan suara-suara alternatif yang membuat mereka didengarkan senantiasa lirih dan kadang kala, seperti saat ini [1979], tidak ada. Merupakan ilusi bahwa lagu adalah komoditas yang tersedia secara bebas... Kenyataannya adalah bahwa lagu merupakan properti privat dari organisasi-organisasi bisnis. (40-1) Asumsi yang dibuat adalah bahwa industri' musik menentukan nilai guna produk-produk yang dihasilkan. Paling jauh, khalayak secara pasif mengonsumsi apa yang ditawarkan oleh industri musik. Paling buruk, mereka menjadi korban budaya yang secara ideologis dimanipulasi melalui musik yang mereka konsumsi. Industri musik merupakan industri kapitalis, karenanya produk-produknya adalah produk produk kapitalis dan, juga pembawa ideologi kapitalis. Penting kiranya membedakan antara kekuatan budaya industri dan kekuatan pengaruhnya. Terlalu sering keduanya dicampuradukkan, padahal keduanya tidak selamanya sama. Persoalan dengan pendekatan ekonomi politik budaya adalah bahwa pendekatan ini biasanya mengasumsikan bahwa keduanya sama. EMI tidak diragu-kan lagi merupakan perusahaan rekaman kapitalis muitinasional yang sangat kuat, yang memperdagangkan komoditas kapitalis. Produk-produk EMI merupakan pembawa ideologi kapitalis? Mereka yang membeli rekaman EMI, atau membayar demi melihat perfomer EMI memainkan musik live, pada praktiknya benar-benar membeli ideologi kapitalis; menjadi korban perusahaan rekaman kapitalis; direproduksi sebagai subjek kapitalis, yang siap membelanjakan lebih banyak uang dan mengonsumsi lebih banyak ideologi. Dengan demikian bisa dikatakan, komoditas dinilai dari signifikansi simboliknya dan konsumsi merupakan sebuah proses yang produktif, aktif, dan kreatif, yang menaruh perhatian pada kesenangan, identitas, dan produksi makna. C. Kaum Muda dan Musik Pop Kajian cultural studies berkenaan dengan budaya musik pop lebih tepat dimulai dengan karya Stuart Hall dan Paddy Whannel (1964). Sebagaimana mereka tegaskan, 'potret anak muda sebagai orang lugu yang dieksploitasi' oleh industri musik-pop 'terlalu disederhanakan' (269). Menanggapi hal ini, mereka berpendapat bahwa terdapat konflik yang sangat sering antara penggunaan teks atau praktik yang dipahami oleh khalayak, dan penggunaan yang dimaksudkan oleh para produser. Secara signifikan, mereka mengakui bahwa meskipun 'konflik nil secara khusus menjadi ciri ranah hiburan remaja ... sampai pada tingkat tertentu, konflik ini juga jamak bagi keseluruhan'wilayah hiburan massa dengan sebuah setting komersial' (270). Budaya musik-pop lagu, majalah, konser, festival, komik, wawancara dengan bintang pop, film, dan sebagai-nya membantu memperlihatkan pemahaman akan identitas di kalangan kaum muda: budaya yang disediakan oleh pasar hiburan komersial ... memainkan peran penting. la mencerminkan sikap dan sentimen yang telah ada di sana, dan pada saat bersamaan menyediakan wilayah yang penuh ekspresi serta sederet simbol yang melalui simbol itu sikap tersebut bisa diproyeksikan... Budaya remaja merupakan sebuah paduan kontradiktif antara yang autentik dan yang dimanufaktur: ia adalah area ekspresi diri bagi kaum muda dan padang rumput yang subur bagi provider komersial. (276) Selain itu, lagu-lagu pop merefleksikan kesulitan remaja dalam menghadapi kekusutan persoalan emosional dan seksual. Lagu-lagu pop menyerukan kebutuhan untuk menjalani kehidupan secara langsung dan intens. Lagu-lagu itu mengekspresikan dorongan akan keamanan di dunia emosional yang tidak pasti dan berubah-ubah. Fakta bahwa lagu-lagu itu diproduksi bagi pasar komersial berarti bahwa lagu dan setting itu kekurangan autentisitas. Kendati demikian, lagu-lagu itu mendramatisasi perasaan-perasaan autentik. Lagu-lagu itu mengekspresikan dilema emosional remaja dengan gamblang. (280) Musik jenis pop mempertontonkan 'realisme emosional'; lelaki dan perempuan muda 'mengidentifikasi diri mereka sendiri dengan representasi kolektif ini dan ... menggunakannya sebagai fiksi-fiksi penuntun. Fiksi simbolik tersebut adalah cerita rakyat yang dengan cara itu anak usia belasan, sebagian, membentuk dan menyusun pandangan dunianya' (281). Hall dan Whannel juga mengiden¬tifikasi suatu cara yang dengan itu para anak usia belasan tahun menggunakan cara berbicara tertentu, tempat nongkrong tertentu, cara menari tertentu, dan cara berbusana tertentu, untuk memper-lihatkan jarak dengan dunia orang dewasa: mereka menggambarkan gaya busana sebagai 'seni pop minor... yang digunakan untuk mengekspresikan sikap kontemporer tertentu ... misalnya, arus pemberontakan dan nonkonformitas sosial yang kuat' (282). Hall dan Whannel membandingkan musik pop dengan tanpa mengunggulkan musik jazz. Keduanya menyatakan bahwa musik jazz 'jauh lebih kaya ... secara estetis maupun emosional' (311). Mereka juga mengatakan bahwa perbandingan itu 'jauh lebih memberi penghargaan' ketimbang perbandingan yang lebih lazim antara musik pop dan musik klasik, sebab musik jazz maupun musik jenis pop adalah musik populer. Dalam kasus musik klasik berhadapan dengan musik pop, perbandingan senantiasa untuk menunjukkan kedangkalan musik pop dan mengomentari mereka yang mengonsumsinya. Apakah pembandingan Hall dan Whannel secara fundamental berbeda? Maksud di balik pembandingan semacam itu adalah mencoba untuk tidak semata-mata menjauhkan para remaja dari pahlawan gramofon otomatis, melainkan mengingatkan mereka akan keterbatasan-keterbatasan yang sangat serius serta kualitas musik yang sekejap yang.begitu didominasi oleh formula dan sedemikian disesuaikann secara langsung pada serangkaian standar yang didesain oleh pasar komersial. Itulah perluasan sensibilitas dan tingkatan emosional yang sejati yang seharusnya di usahakan perluasan selera yang bisa menyebabkan perluasan kesenangan. Hal terburuk yang akan di katakan ihwal musik pop bukanlah bahwa ia vulgar, atau rendah secara moral, melainkan, lebih sederhana, bahwa kebanyakan musik pop itu tidak enak. (311-12) D. Analisis dan Pembahasan Musik pop merupakan hiburan yang menurut Richard Dyers ( During,1993:271-272) adalah respon emosi jiwa dan perkembangannya implikasi emosi diri, yaitu suatu tanda keinginan manusia yang meronta ingin ditanggapi dan memenuhinya. Prinsip-prinsipnya seperti kesenangan yang tertanam dan menjelma dalam kehidupan manusia sehingga membentuk budaya manusia. Hiburan mendengarkan musik pop diwaktu luang memberikan kesenangan menjadi sebuah kelarutan kebutuhan manusia yang lebih besar bahkan kadang menjadi eksistensi kehidupan manusia. Kesenangan juga membuat manusia manja dan terbiasa dengan kehidupan yang serba mengagumkan. ( Bungin, 2008 : 51) Sebagai contoh musik pop punya 'korelasi non-produktif dengan kehidupan di kantor atau di pabrik. Ketegangan dan kebosanan kerja mengantar laki-laki dan perempuan pada penghindaran terhadap penggunaan energi fisik dan mental di waktu luangnya. Menampik kesenangan baru di waktu kerja, dan terlalu lelah untuk menikmatinya di waktu luang, mereka sangat membutuhkan stimulan: musik pop memuaskan apa yang diidamkan. Dalam dunia kapitalis, hiburan bahkan budaya di masyarakat menjadi produk industri seperti halnya musik pop, para konsumen merasa tidak puas jika hanya sebentar mendengarkan lagu-lagu kesukaannya hanya diwaktu senggang tetapi ingin terus menerus sehingga muncul industri-industri rekaman suara, VCD lagu-lagu yang hits, bahkan konser-konser para penyanyinya dan masyarakat begitu antusiasnya mengidolakan penyanyi-penyanyi musik pop sehingga menirukan segala atribut pakaian hingga perilakunnya. Theodor Adorno dan Max Horkheimer mengatakan bahwa budaya industri adalah media tipuan. Kedua tokoh itu mempercayai bahwa hilangnya keperibadian yang tulus seperti kemampuan menggambarkan keadaaan yang nyata karena budaya telah berubah menjadi alat industri serta menjadi standar ekonomi kapitalis. Musik Pop merupakan bagian dari budaya populer serta menjadi budaya elite dalam masyarakat tertentu sehingga ada sentuhan hegemoni serta dorongan membentuk suatu budaya yang mempertontonkan hiburan dan memberikan kesan yang konsumtif. Kepentingan pihak produksi musik pop yaitu bagaimana mengkonstruksi kebutuhan musik pop sebagai bagian dari kehidupan manusia yang ingin lepas dari aktivitas yang membosankan dengan mendengarkan musik maupun mengikuti konser-konser bahkan mengikuti menyanyi dengan merasakan suasana hati sama dengan apa yang digambarkan lirik-lirik lagu. Penciptaan citra bahkan makna yang terkandung di dalam lirik-lirik lagu membangun kesadaran palsu untuk menikmati kesenangan yang luar biasa serta sifat ketergantungan sebuah pelarian dari kegelisahan emosi manusia. Konstruksi media musik pop dilakukan secara bertahap dan berlahan-lahan, dirancang berdasarkan konsep logika pemasaran perilaku sosial masyarakat. Konstruksi yang terkait bahasa dalam lirik-lirik lagu, menurut Berger dan Luckmann ( 1990: 92) menjadi sebuah tempat penyimpanan kumpulan besar endapan-endapan kolektif yang dapat diperoleh secara monotetik artinya sebagian keseluruhan yang kohensif dan tanda merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula. Bahasa yang melankolis digunakan sebagai signifikasi makna-makna yang dipahami sebagai pengetahuan yang relevan dengan masyarakatnya sebagaimana Berger dan Luckmann ( 1990: 100) mengatakan pengetahuan itu dianggap relevan bagi semua orang dan sebagian lagi relevan bagi semua orang dan sebagian lagi hanya relevan bagi tipe-tipe tertentu. Dalam gagagasan konstruksi sosial yang dibangun dari lagu-lagu pop menjadi bagian yang tidak terhindarkan dalam mengisi waktu luang bahkan munculnya tempat karoke yang kebanyakan berisi musik-musik pop yang sedang hit serta digandrungi oleh kaum remaja bahkan segala kalangan usia. Gagasan konstruksi sosial telah dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana dan pengetahuan masyarakat. Gagasan ini dimulai oleh Derrida ( 1978) yang terkenal dengan gagasan-gagasan dekonstruksi yaitu melahirkan tesis-tesis keterkaitan dengan kepentingan dan metode penafsiran atas realitas sosial termasuk dalam hal ini budaya pop musik. Kekaguman masyarakat dalam mendengarkan bahkan menyanyikan lagu dimanfaatkan benar-benar oleh para pemilik modal untuk memproduksi keping-keping DVD, CD, Kaset lagu, bahkan di dalam televisi, radio, computer, telefon serta alat-alat elektronik lainnya dipenuhi oleh beragam lagu-lagu yang menarik serta alat-alat elektronik lainnya dipenuhi oleh beragam lagu-lagu yang sedang hits. Adorno dalam konteks musik populer adalah musik populer tidak berisi musik secara mendalam tetapi hanya sebatas enak di dengan (easy listening) artinya musik populer telah kehilangan ruh dalam mengungkapkan realitas sosial yang mendasari musik tersebut. Teori musik Adorno mungkin merupakan aspek analisis industri budayanya yang paling terkenal. Teori ini berkaitan dengan teori fetisisme komoditas dan industri budaya. Musik populer dihasilkan melalui dua proses dominasi industri budaya, yakni standarisasi dan individualitas semu. Standarisasi menyatakan tidak terlalu dipermasalahkannya orisinalitas, autentitas, sampai perkembangan musik secara keseluruhan. Standarisasi dalam menunjukkan musik populer mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya hingga dapat dipertukarkan ( Strinati,2010:112). Dengan kemiripan dalam berbagai hal, musik populer menjadikan musik populer bisa menjadi komoditas sendiri. Memang terasa aneh justru yang banyak diminati dan mejadi musik popular di kalangan remaja sekarang ini adalah lagu yang mempunyai kemiripin dengan lagu barat, sebagai contoh : 1. Ari Lasso (Tulus) = Bryan Adams (When You Love Someone) 2. Boomerang (Gadis Extravaganza) = Guns N Roses (Welcome To The Jungle) 3. Ratu (Lelaki Buaya Darat) = (Chantal Kreviazuk (Another Small Adventure) 4. Melly (Tak Tahan Lagi) = T.A.T.U (Not Gonna Get Us) 5. Peterpan (Ada Apa Denganmu) = U2 (Bad) & Simple Plan (Every Time) 6. T-Five (MIRc) = House Of Pain (Jump Around) Bersamaan dengan standarisasi dibentuk pula keinginan semu yang dijalankan demi membuat kabur rasa pribadi mengenai musik yang seharusnya ada dalam diri individu dalam menikmati musik tetapi diarahkan pada pemujaan terhadap satu produk populer yang sedang tren. Akibatnya, selera pasar terdistorsi dari unsur seni dan budaya. Sebagai contoh; musik pop melayu yang cenderung melo yang diaransemen dengan selera musik sekarang easy listening yang di bawakan oleh band-band naik daun dapat merebut perhatian anak muda bahkan semua kalangan, seperti ST12, D’Bagindaz, Hijau Daun, serta Wali sehingga albumnya laris manis dipasaran. Untuk berikutnya khalayak tidak lagi melihat orisinilitas melayu ataupun kualitas musik namun cenderung komoditas khalayak akan kepopuleran band yang membawakannya. Selera musik individu terdistorsi oleh selera pasar sehingga musik bukan lagi tempat penyaluran rasa melainkan sebuah hirarki atas ke bawah yaitu dari industri musik ke penikmat musik. Terjadinya hubungan reifikasi yang memunculkan peran produsen-konsumen berlangsung nyaris tanpa cacat. Masyarakat bukan lagi penikmat musik, tapi buruh yang dieksploitasi sedemikian rupa dengan instrumen kebudayaan massa. Dan apa yang disebut Adorno sebagai homogenisasi, terutama dalam (komersialisasi) seni dianggap menjadi suatu keniscayaan oleh masyarakat. Dalam pandangan Adorno musik sudah tidak lagi merupakan suatu kohesi seperti halnya pada zaman romantik, karena itu di pandangan Adorno hanya pengungkapan subyektiflah yang masih memberikan kemungkinan membawa kebenaran secara isi. Adorno menaruh harapan akan kemurnian subyektifitas musik ini tercermin dari keberpihakan Adorno terhadap seni dan filsafat tinggi. Dalam menganalisa realitas musik populer Adorno menggunakan dialektika negatif artinya Adorno dalam melihat fakta-fakta musik populer tidak sebagai indeks positif dari progresifitas masyarakat tetapi sebagai nego dari kebenaran yang dianut positif berkaitan dengan musik populer. Sederhananya dialektika negatif ingin mengkritisi terhadap kondisi masyarakat. Tawaran Adorno adalah mencoba membandingkan musik klasik dan musik populer dengan titik temunya adalah pembahasan mengenai standarisasi dan non standarisasi. Musik klasik dinilai sebagai musik yang mampu menjelaskan tantangan fetisisme komoditas karena musik klasik seperti Beethoven adalah musik serius yang meninggalkan komoditas.( Strinati, 2010:113) Musik klasik dianggap mempunyai detail yang membuatnya berbeda satu sama lain serta dapat membangkitkan rasa individualitas masyarakat. Sementara itu, ketidakhadiran detail dalam musik pop dimaknai sebagai kerangka, yakni standarisasi terhadap musik-musik pop yang ada dan menentang prinsip-prinsip liberalitas karena tidak diperbolehkannya individu memilih musik yang lebih variatif dalam musik pop. Pop culture alias budaya populer memang selalu menarik untuk dikaji. Bagaimana tidak, jika ditelaah dengan pengamatan yang mendalam, keberadaan budaya populer bisa jadi merupakan refleksi dari keberadaan peradaban manusia itu sendiri, pada waktu itu. Dalam artian, jika ingin melihat fenomena yang sedang terjadi cukup amati melalui budaya yang tengah berkembang. Ada kalanya keberadaan budaya populer sering dianggap sebagai sebuah kewajaran. Maksudnya, apapun fenomena yang tengah berlaku dalam masyarakat cenderung dianggap hanya sebagai dampak dari perkembangan masa. Maka dari itu, nilai lebih dari sebuah budaya populer sering terabaikan. Perkembangan musik Indosneia, hal ini menarik karena ternyata musik dinilai sebagai hal yang dianggap dekat dengan remaja, dan disisi lain, remaja merupakan suatu bahasan yang selalu mengundang ransangan untuk selalu ditelaah. Perkembangan musik terutama pada lirik akhir-akhir ini, jika diamati lebih detil, memberikan satu benang merah yang bisa dicatat dan dianalisa. Pada lirik lagu saat ini ditemukan sebuah kelugasan. Adorno dalam esai ‘ On Popular Music (dalam storey 1994) musik pop distandarisakikan’Standarisasi’, sebagaimana ditunjukan Adorno,’meluas mulai dari segi-segi yang paling umum hingga segi-segi yang paling spesifik’(292-3). Sekali pola musikal dan lirikal ternyata sukses, ia dieksploitasi hingga kelelahan komersial, yang memuncak pada’kristalisasi standar’(Storey, 2010). Semua hal yang ingin disampaikan lagu tersebut dirancang sedemikian rupa agar mudah di pahami hanya dengan sekali dengar. Dan fenomenanya, justru pada saat ini, lagu dengan lirik terbuka seperti itulah yang diterima oleh kalangan remaja. Temanya pun tak terlalu jauh dari lagu-lagu lainnya yaitu cinta. Namun cinta yang diangkat dalam lirik lagu remaja saat ini adalah cinta yang dikhianati atau merupakan wujud dari cinta segitiga. Sebut saja ketahuan, lelaki cadangan, dirimu dirinya, lelaki buaya darat dan lagu lain dengan tema yang sejenis. Semua makna yang ingin disampaikan diatur selugas mungkin. Lirik yang lugas dan digemari remaja bisa jadi merupakan refleksi dari remaja itu sendiri. Maksudnya, lirik yang lugas merupakan perlambang dari sesuatu yang instan, tak perlu cernaan dan dapat di “makan” semaunya. Fenomena ini tampaknya memperjelas kecenderungan remaja saat ini yang lebih memilih gaya hidup konsumtif. Remaja tanpa berpikir panjang akan berlaku sekehendaknya sehingga jika dibawakan ke ekonomi mereka adalah makanan empuk para produsen. Tak hanya mengacu dari lirik, kehidupan konsumtif remaja dengan sangat jelas dapat dilihat dalam kehidupan nyata. Mereka cenderung mengkonsumsi sesuatu yang bersifat instan. Makanya tidak salah, jika para pembuat lagu membaca fenomena ini dan menyajikannya dalam bentuk lirik yang juga instan, mudah dicerna, mudah diterima dan, yang penting, sangat meremaja. Hal yang sama diungkapkan ( Heru, 2009 ) lagu pop remaja adalah genre musik dengan peminat terbesar. Selain warna dan gaya musiknya boleh tampil dalam idiom musikal yang terdengar spontan dan gampang dicerna, liriknya pun begitu personal, mencerminkan persepsi cinta dari sudut pandang dunia remaja. Setiap kali berbicara tentang musik pop (di) Indonesia tak bisa memisahkannya dengan gaya hidup. Bukan saja musik pop, seperti yang diduga oleh banyak orang menjadi bagian dari gaya hidup kaum muda di perkotaan, namun lebih jauh lagi musik pop sudah dianggap sebagai gaya hidup itu sendiri. Artinya, untuk menikmati gaya hidup heavy metal , anak muda di berbagai kota cukup mengadopsinya dengan memanjangkan rambut, mengenakan kaos hitam berhias sablon bintang metal seperti metallica dan sebagainya, sambil tentu saja mendengarkan musik gaduh riuh itu sesering mungkin. Untuk mencebur dalam budaya J-Pop, tak harus mejeng di kawasan Harayuku Street di Jepang sana, namun cukup dengan segenap mengenakan fashion gaya ‘tabrak lari’ yang memadu semua unsur fashion secara kontras. Seperti apa yang dikenakan sebagai kostum panggung duo cantik Ratu. Gaya hidup hip-hop girl yang serba seksi lengkap dengan irama dansa ala Britney Spears berikut gaya fashion mereka yang serba terbuka dan seksi, juga bukan hal yang baru bagi para gadis muda zaman sekarang, dengan idola mereka: Agnes Monica yang akhir-akhir ini dilanda hasrat untuk bisa go international. Di samping itu juga terdapat gaya yang cenderung ‘bohemian’, suka-suka gua dengan wacana pemikiran yang kritis pada beberapa masalah sosial, juga menjadi ‘prinsip’ para pecinta berat Iwan Fals. Berkaitan dengan hal tersebut menunjukkan bahwa musik pop (di) Indonesia kini bukan lagi tampil sebagai sekedar produk budaya pop, yang bermula dari faktor kebutuhan dan pemenuhan ( Di AS bermula dari adanya radio yang butuh materi musik untuk disiarkan, lalu ada perusahaan rekaman yang merekam penyanyi baru, setelah disiarkan jadi beken, diminta manggung di mana-mana, dan menciptakan peluang bagi industri musik untuk memenuhi kebutuhan itu ), namun sudah terkomodifisakisan sedemikian rupa, dari luar dalam, hingga menjadi seuatu keniscayaan yang tak bisa dilewatkan dalam kehidupan kaum muda kita. E. Penutup Dapat dikatakan bahwa musik menghegemoni kehidupan masyarakat modern, mulai dari anak-anak, remaja sampai orang tua. Kelompok dominan intelektual dalam industri budaya telah mengkonsep sedemikian rupa sehingga musik yang disajikan enak di dengar sehingga banyak disukai masyarakat dari berbagai kalangan. Dengan dominasi yang terjadi membuat musik kehilangan aura dan sampai pada titik terendah. Di sudut lain dalam gagasan konstruksi sosial yang dibangun dari lagu-lagu pop menjadi bagian yang tidak terhindarkan dalam mengisi waktu luang bahkan munculnya tempat karoke yang kebanyakan berisi musik-musik pop yang sedang hit serta digandrungi oleh kaum remaja bahkan segala kalangan usia. Kekaguman masyarakat dalam mendengarkan bahkan menyanyikan lagu dimanfaatkan benar-benar oleh para pemilik modal untuk memproduksi keping-keping DVD, CD, Kaset lagu, bahkan di dalam televisi, radio, computer, telefon serta alat-alat elektronik lainnya dipenuhi oleh beragam lagu-lagu yang menarik serta alat-alat elektronik lainnya dipenuhi oleh beragam lagu-lagu yang sedang hits. Musik populer yang ada saat ini secara kualitas detail hingga penghimpunan realitas masyarakat yang dituliskan dalam syair lagu sudah terdistorsi budaya populer sehingga musik populer telah kehilangan ruh deep music. Dan yang terakhir musik pop di Indonesia tak bisa dipisahkan juga dengan gaya hidup. Bukan saja musik pop, seperti yang diduga oleh banyak orang menjadi bagian dari gaya hidup kaum muda di perkotaan, namun lebih jauh lagi musik pop sudah dianggap sebagai gaya hidup itu sendiri Referensi : Bungin, Burhan.2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Gramsci, Antonio (1971) Selections from Prison Notebooks, disunting dan diterjemahkan oleh Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell-Smith, London: Lawrence & Wishart. Storey, John (2010) Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, diterjemahkan Layli Rahmawati, cetakan IV, Yogyakarta: JALASUTRA Strinati, Dominic (2010) Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, pengantar St. Sunardi, diterjemahkan oleh Abdil Muchid, cetakan II, Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA Sztompka, Piotr. 1993. The Sosiology of Social Change. Jakarta: PRENADA MEDI GROUP Gaya Cinta yang Berbeda, Heru Emka, Juni 2009 , http://suaramerdeka.com/ akses 26 Mei 2011
The Greatest Gamelan Concert 2016 Battle Of Influence Vastenburg Fort – Solo - Central Java – Indonesia Saturday , June 4 ‘ 2016 7.30 pm – till end Presenting the conservation of tradition by the performance of the masterpiece of Surakarta Gamelan Composers

Rabu, 18 Mei 2016

KERANGKA STRATEGIC TOURISM MARKETING
Konsep dan strategi pemasaran pariwisata merupakan kunci sukses dalam membangun inspirasi bagi marketer destinasi dalam menggerakan kegiatan pemasaran. 10 strategi sukses marketing : 1. Membangun kemitraan pemasaran. 2. Mengembangkan rencana strategi pemasaran. 3. Mengembangkan brand dan citra destinasi yang efektif dan konsisten 4. Mengidentifikasi dan menyasar pasar wisatawan yang tepat 5. Mengembangkan iklan, promosi dan penjualan 6. Menyediakan informasi yang berkualitas bagi para wisatawan 7. Menyelenggarakan festival dan event 8. Mengembangkan manajemen krisis 9. Mengembangkan nilai-nilai lokal 10. Menerapkan standar kualitas pelayanan yang tinggi

Senin, 16 Mei 2016

TANTANGAN STRATEGIS PEMASARAN PARIWISATA 1. TREN PENGEMBANGAN PRODUK PEOPLE CONTACT DAN CULTURAL TOURISM STRATEGI PEMASARAN YANG MEMINIMALKAN KONFLIK DAN DAMPAK NEGATIF 2. KOMPETISI DESTINASI PARIWISATA SANGAT PROSPEKTIF, PERSAINGAN KETAT,PROMOSI 3. PERGESERAN TREN PERJALANAN WISATA MASS TOURISM TO ALTERNATIVE TOURISM POLA PERUBAHAN (SEA, SAND,SUN) TO GREEN TOURISM, (ECO TOURISM DAN COMMUNITY BASED TOURISM) 4. KESADARAN LINGKUNGAN PENDIDIKAN, SMART CUSTOMER, GREEN TOURIST 5. TREN KONSUMEN PENINGKATAN DAYA BELI KONSUMEN KETERSEDIAAN INFORMASI BAGI KONSUMEN PARTISIPASI KONSUMEN RESISTANSI KONSUMEN YANG DIDUKUNG DARI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI LEPAS BATAS ( BORDERLESS INFORMATION ) • IMPLIKASI KHUSUS PERUBAHAN TREN KONSUMEN TERHADAP PEMASARAN : a. KONSUMEN MEMPUNYAI POSISI TAWAR DAN DAYA BELI TINGGI, MEMILIKI OPSI PILIHAN HARGA DENGAN CEPAT DARI BERBAGAI PENYEDIA PRODUK DAN JASA DI SELURUH DUNIA , (PELUANG INI MEMBERI TINGKAT PENGHEMATAN TERTENTU/PERBEDAAN HARGA ANTAR PROVIDER, MEGORDER OLNLINA) b. PRODUK PARIWISATA DIJUAL DENGAN MEMANFAATKAN TI DAN BISA DIBELI SECARA ONLINE c. WIATAWAN MAKIN MUDAH MENCARI DESTINASI YANG UNIK DAN MAMPU MEMBERI PENGALAMAN SEBANDING DENGAN d. DENGAN TI DALAM HITUNGAN DETIK SEMUA BERITA DAN KEJADIAN POSITIF-NEGATIF, KEJADIAN DI DESTINASI AKAN CEPAT MENYEBAR KE DUNIA, JADI MENJAGA KEAKURATAN INFORMASI PENTING AGAR TIDAK TERJADI : i. TUNTUTAN HUKUM ii. PENYEBARAN BERITA NEGATIF KE SELURUH DUNIA MELALUI INTERNET 6. GLOBAL WARNING SISTEM PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN DI SEKTOR KEPARIWISATAAN MENJADI AGENDA POKOK YANG HARUS DILAKSANAKAN DI BERBAGAI WILAYAH DAN DESTINASI PARIWISATA 7. KRISIS GLOBAL BAGI PARIWISATA INI BERDAMPAK PADA POLA PERJALANAN WISATA YANG AKAN CENDERUNG DIDOMINASI POLA PERJALANAN JARAK PENDEK-MENENGAH , MAKA AKAN DIDOMINASI PERJALANAN INTRAREGIONAL DIABNDING PERJALANAN JARAK JAUH , MISAL : EROPA , AMERIKA, DLL.
TANTANGAN STRATEGIS PEMASARAN PARIWISATA 1. TREN PENGEMBANGAN PRODUK PEOPLE CONTACT DAN CULTURAL TOURISM STRATEGI PEMASARAN YANG MEMINIMALKAN KONFLIK DAN DAMPAK NEGATIF 2. KOMPETISI DESTINASI PARIWISATA SANGAT PROSPEKTIF, PERSAINGAN KETAT,PROMOSI 3. PERGESERAN TREN PERJALANAN WISATA MASS TOURISM TO ALTERNATIVE TOURISM POLA PERUBAHAN (SEA, SAND,SUN) TO GREEN TOURISM, (ECO TOURISM DAN COMMUNITY BASED TOURISM) 4. KESADARAN LINGKUNGAN PENDIDIKAN, SMART CUSTOMER, GREEN TOURIST 5. TREN KONSUMEN PENINGKATAN DAYA BELI KONSUMEN KETERSEDIAAN INFORMASI BAGI KONSUMEN PARTISIPASI KONSUMEN RESISTANSI KONSUMEN YANG DIDUKUNG DARI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI LEPAS BATAS ( BORDERLESS INFORMATION )
• IMPLIKASI KHUSUS PERUBAHAN TREN KONSUMEN TERHADAP PEMASARAN : a. KONSUMEN MEMPUNYAI POSISI TAWAR DAN DAYA BELI TINGGI, MEMILIKI OPSI PILIHAN HARGA DENGAN CEPAT DARI BERBAGAI PENYEDIA PRODUK DAN JASA DI SELURUH DUNIA , (PELUANG INI MEMBERI TINGKAT PENGHEMATAN TERTENTU/PERBEDAAN HARGA ANTAR PROVIDER, MEGORDER OLNLINA) b. PRODUK PARIWISATA DIJUAL DENGAN MEMANFAATKAN TI DAN BISA DIBELI SECARA ONLINE c. WIATAWAN MAKIN MUDAH MENCARI DESTINASI YANG UNIK DAN MAMPU MEMBERI PENGALAMAN SEBANDING DENGAN d. DENGAN TI DALAM HITUNGAN DETIK SEMUA BERITA DAN KEJADIAN POSITIF-NEGATIF, KEJADIAN DI DESTINASI AKAN CEPAT MENYEBAR KE DUNIA, JADI MENJAGA KEAKURATAN INFORMASI PENTING AGAR TIDAK TERJADI : i. TUNTUTAN HUKUM ii. PENYEBARAN BERITA NEGATIF KE SELURUH DUNIA MELALUI INTERNET 6. GLOBAL WARNING SISTEM PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN DI SEKTOR KEPARIWISATAAN MENJADI AGENDA POKOK YANG HARUS DILAKSANAKAN DI BERBAGAI WILAYAH DAN DESTINASI PARIWISATA 7. KRISIS GLOBAL BAGI PARIWISATA INI BERDAMPAK PADA POLA PERJALANAN WISATA YANG AKAN CENDERUNG DIDOMINASI POLA PERJALANAN JARAK PENDEK-MENENGAH , MAKA AKAN DIDOMINASI PERJALANAN INTRAREGIONAL DIABNDING PERJALANAN JARAK JAUH , MISAL : EROPA , AMERIKA, DLL.
Mengajarkan Pendidikan Seks Untuk Anak
Kasus kekerasan seksual pada anak meningkat setiap tahunnya. Ironisnya, anak lebih banyak tahu tentang seks dari teman, internet, dan media pornografi seperti majalah porno, video, dan lain sebagainya. Hanya 5 % anak yang tahu tentang seks dari orangtua. Menurut Pakar: Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psi. Berikan edukasi seks pada anak saat sebelum pubertas dan saat anak bertanya. Bersyukurlah ketika anak tiba-tiba bertanya tentang seks karena inilah saatnya Anda memberikan informasi yang tepat. Jangan lalu Anda malah memarahinya, terlihat bingung, terlalu serius, pura-pura tidak dengar, bahkan mengalihkan pembicaraan atau berbohong. Karena jika Anda melakukan hal tersebut, anak akan mencari jawaban di tempat lain. Sambil mengajarkan anak, jelaskan bahwa penjelasan seputar seks hanya bisa ia dapatkan melalui Anda, orangtuanya. Gunakan kesempatan, misalnya: 1. Saat mandi. Kenalkan anak tentang alat kelaminnya. Gunakan kata penis dan vagina untuk alat kelamin, jangan pakai kiasan. Jelaskan pada anak karena kata tersebut bersifat pribadi, ia tidak bisa mengucapkannya sembarangan atau di depan umum. 2. Saat ada adegan mesra di film seperti berciuman. Daripada sibuk menutupi mata anak, lebih baik jelaskan apa arti adegan tersebut. Pendidikan seks bukan single lecture. Tak bisa mengajari anak tentang pengetahuan seks hanya satu kali, karena dalam tiap tahapan usia anak, mereka mendapatkan ‘problem’ baru. Mengenal Bagian Tubuh Beritahu anak tentang batasan bagian tubuh pribadinya, yaitu mulai dari bawah leher sampai lutut, tidak termasuk tangan. Selain kelamin, bokong, dan dada, paha dan punggung termasuk pribadi, mengantisipasi fedofil yang suka meminta anak bertelanjang dada lalu memotretnya. Ajarkan pada anak, bahwa hanya ada 3 orang yang boleh menyentuh bagian tubuh pribadinya: dirinya sendiri, orangtua, dan dokter. Jika ada orang lain yang memaksa untuk memegang atau melihat bagian tubuh pribadi anak, diskusikan dengannya, apa yang perlu ia lakukan dengan memberikan arahan detail. Ajarkan anak untuk melawan dengan berbagai cara, yaitu berteriak, memukul, menendang, atau menggigit. Ajarkan norma sederhana, seperti aturan memakai baju. Kalau habis mandi, badan harus ditutupi dengan handuk, dan inilah sebabnya mengapa di toko baju selalu ada ruang ganti pakaian, karena kita tidak bisa telanjang di depan banyak orang.